Oleh : Mochamad
Bugi
Dari Syadad bin Aus r.a., dari Rasulullah saw., bahwa beliau
berkata, ‘Orang yang pandai adalah yang menghisab (mengevaluasi) dirinya
sendiri serta beramal untuk kehidupan sesudah kematian. Sedangkan orang yang
lemah adalah yang dirinya mengikuti hawa nafsunya serta berangan-angan terhadap
Allah swt. (HR. Imam Turmudzi, ia berkata, ‘Hadits ini adalah hadits hasan’)
Gambaran Umum Hadits
Hadits di atas
menggambarkan urgensi muhasabah (evaluasi diri) dalam menjalani kehidupan di
dunia ini. Karena hidup di dunia merupakan rangkaian dari sebuah planing dan
misi besar seorang hamba, yaitu menggapai keridhaan Rab-nya. Dan dalam
menjalankan misi tersebut, seseorang tentunya harus memiliki visi (ghayah), perencanaan (ahdaf), strategi (takhtith), pelaksanaan (tatbiq) dan evaluasi (muhasabah). Hal terakhir merupakan pembahasan utama yang dijelaskan oleh
Rasulullah saw. dalam hadits ini. Bahkan dengan jelas, Rasulullah mengaitkan
evaluasi dengan kesuksesan, sedangkan kegagalan dengan mengikuti hawa nafsu dan
banyak angan.
Indikasi Kesuksesan dan Kegagalan
Hadits di atas dibuka
Rasulullah dengan sabdanya, ‘Orang yang pandai (sukses) adalah yang mengevaluasi
dirinya serta beramal untuk kehidupan setelah kematiannya.’ Ungkapan sederhana
ini sungguh menggambarkan sebuah visi yang harus dimiliki seorang muslim.
Sebuah visi yang membentang bahkan menembus dimensi kehidupan dunia, yaitu visi
hingga kehidupan setelah kematian.
Seorang muslim tidak
seharusnya hanya berwawasan sempit dan terbatas, sekedar pemenuhan keinginan
untuk jangka waktu sesaat. Namun lebih dari itu, seorang muslim harus memiliki
visi dan planing untuk kehidupannya yang lebih kekal abadi. Karena orang sukses
adalah yang mampu mengatur keinginan singkatnya demi keinginan jangka
panjangnya. Orang bertakwa adalah yang ‘rela’ mengorbankan keinginan
duniawinya, demi tujuan yang lebih mulia, ‘kebahagian kehidupan ukhrawi.’
Dalam Al-Qur’an, Allah swt.
seringkali mengingatkan hamba-hamba-Nya mengenai visi besar ini, di antaranya
adalah dalam QS. Al-Hasyr (59): 18–19.
Muhasabah atau evaluasi
atas visi inilah yang digambarkan oleh Rasulullah saw. sebagai kunci pertama
dari kesuksesan. Selain itu, Rasulullah saw. juga menjelaskan kunci kesuksesan
yang kedua, yaitu action after evaluation. Artinya setelah evaluasi harus ada aksi perbaikan. Dan hal ini
diisyaratkan oleh Rasulullah saw. dengan sabdanya dalam hadits di atas dengan
’dan beramal untuk kehidupan sesudah kematian.’ Potongan hadits yang terakhir
ini diungkapkan Rasulullah saw. langsung setelah penjelasan tentang muhasabah.
Karena muhasabah juga tidak akan berarti apa-apa tanpa adanya tindak lanjut
atau perbaikan.
Terdapat hal menarik
yang tersirat dari hadits di atas, khususnya dalam penjelasan Rasulullah saw.
mengenai kesuksesan. Orang yang pandai senantiasa evaluasi terhadap amalnya,
serta beramal untuk kehidupan jangka panjangnya yaitu kehidupan akhirat. Dan
evaluasi tersebut dilakukan untuk kepentingan dirinya, dalam rangka peningkatan
kepribadiannya sendiri.
Sementara kebalikannya,
yaitu kegagalan. Disebut oleh Rasulullah saw, dengan ‘orang yang lemah’,
memiliki dua ciri mendasar yaitu orang yang mengikuti hawa nafsunya, membiarkan
hidupnya tidak memiliki visi, tidak memiliki planing, tidak ada action dari
planingnya, terlebih-lebih memuhasabahi perjalanan hidupnya. Sedangkan yang
kedua adalah memiliki banyak angan-angan dan khayalan, ’berangan-angan terhadap
Allah.’ Maksudnya, adalah sebagaimana dikemukakan oleh Imam Al-Mubarakfuri
dalam Tuhfatul Ahwadzi, sebagai berikut: Dia (orang yang lemah), bersamaan
dengan lemahnya ketaatannya kepada Allah dan selalu mengikuti hawa nafsunya,
tidak pernah meminta ampunan kepada Allah, bahkan selalu berangan-angan bahwa
Allah akan mengampuni dosa-dosanya.
Urgensi Muhasabah
Imam Turmudzi setelah
meriwayatkan hadits di atas, juga meriwayatkan ungkapan Umar bin Khattab dan
juga ungkapan Maimun bin Mihran mengenai urgensi dari muhasabah.
1. Mengenai muhasabah,
Umar r.a. mengemukakan:
‘Hisablah (evaluasilah)
diri kalian sebelum kalian dihisab, dan berhiaslah (bersiaplah) kalian untuk
hari aradh akbar (yaumul hisab). Dan bahwasanya hisab itu akan menjadi ringan
pada hari kiamat bagi orang yang menghisab (evaluasi) dirinya di dunia.
Sebagai sahabat yang
dikenal ‘kritis’ dan visioner, Umar memahami benar urgensi dari evaluasi ini.
Pada kalimat terakhir pada ungkapan di atas, Umar mengatakan bahwa orang yang
biasa mengevaluasi dirinya akan meringankan hisabnya di yaumul akhir kelak. Umar paham bahwa setiap insan akan
dihisab, maka iapun memerintahkan agar kita menghisab diri kita sebelum
mendapatkan hisab dari Allah swt.
2. Sementara Maimun bin
Mihran r.a. mengatakan:
‘Seorang hamba tidak
dikatakan bertakwa hingga ia menghisab dirinya sebagaimana dihisab pengikutnya
dari mana makanan dan pakaiannya’.
Maimun bin Mihran
merupakan seorang tabiin yang cukup masyhur. Beliau wafat pada tahun 117 H.
Beliaupun sangat memahami urgensi muhasabah, sehingga beliau mengaitkan
muhasabah dengan ketakwaan. Seseorang tidak dikatakan bertakwa, hingga
menghisab (mengevaluasi) dirinya sendiri. Karena beliau melihat salah satu ciri
orang yang bertakwa adalah orang yang senantiasa mengevaluasi amal-amalnya. Dan
orang yang bertakwa, pastilah memiliki visi, yaitu untuk mendapatkan ridha
Ilahi.
3. Urgensi lain dari
muhasabah adalah karena setiap orang kelak pada hari akhir akan datang
menghadap Allah swt. dengan kondisi sendiri-sendiri untuk mempertanggung
jawabkan segala amal perbuatannya. Allah swt. menjelaskan dalam Al-Qur’an: “Dan
tiap-tiap mereka akan datang kepada Allah pada hari kiamat dengan
sendiri-sendiri.” [QS. Maryam (19): 95, Al-Anbiya’ (21): 1].
Aspek-Aspek Yang Perlu Dimuhasabahi
Terdapat beberapa aspek
yang perlu dimuhasabahi oleh setiap muslim, agar ia menjadi orang yang pandai
dan sukses.
1.Aspek Ibadah
Pertama kali yang harus
dievaluasi setiap muslim adalah aspek ibadah. Karena ibadah merupakan tujuan
utama diciptakannya manusia di muka bumi ini. [QS. Adz-Dzaariyaat (51): 56]
2. Aspek Pekerjaan &
Perolehan Rizki
Aspek kedua ini sering
kali dianggap remeh, atau bahkan ditinggalkan dan ditakpedulikan oleh
kebanyakan kaum muslimin. Karena sebagian menganggap bahwa aspek ini adalah
urusan duniawi yang tidak memberikan pengaruh pada aspek ukhrawinya. Sementara
dalam sebuah hadits, Rasulullah saw. bersabda:
Dari Ibnu Mas’ud ra dari
Nabi Muhammad saw. bahwa beliau bersabda, ‘Tidak akan bergerak tapak kaki ibnu
Adam pada hari kiamat, hingga ia ditanya tentang 5 perkara; umurnya untuk apa
dihabiskannya, masa mudanya, kemana dipergunakannya, hartanya darimana ia
memperolehnya dan ke mana dibelanjakannya, dan ilmunya sejauh mana
pengamalannya.’ (HR. Turmudzi)
3.Aspek Kehidupan Sosial
Keislaman
Aspek yang tidak kalah
penting untuk dievaluasi adalah aspek kehidupan sosial, dalam artian hubungan
muamalah, akhlak dan adab dengan sesama manusia. Karena kenyataannya aspek ini
juga sangat penting, sebagaimana yang digambarkan Rasulullah saw. dalam sebuah
hadits:
Dari Abu Hurairah ra,
bahwa Rasulullah saw. bersabda, ‘Tahukah kalian siapakah orang yang bangkrut
itu?’ Sahabat menjawab, ‘Orang yang bangkrut diantara kami adalah orang yang
tidak memiliki dirham dan tidak memiliki perhiasan.’ Rasulullah saw. bersabda,
‘Orang yang bangkrut dari umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat
dengan (pahala) shalat, puasa dan zakat, namun ia juga datang dengan membawa
(dosa) menuduh, mencela, memakan harta orang lain, memukul (mengintimidasi)
orang lain. Maka orang-orang tersebut diberikan pahala kebaikan-kebaikan
dirinya. Hingga manakala pahala kebaikannya telah habis, sebelum tertunaikan
kewajibannya, diambillah dosa-dosa mereka dan dicampakkan pada dirinya, lalu
dia pun dicampakkan ke dalam api neraka. (HR. Muslim)
Melalaikan aspek ini,
dapat menjadi orang yang muflis sebagaimana digambarkan Rasulullah saw. dalam
hadits di atas. Datang ke akhirat dengan membawa pahala amal ibadah yang begitu
banyak, namun bersamaan dengan itu, ia juga datang ke akhirat dengan membawa dosa
yang terkait dengan interaksinya yang negatif terhadap orang lain; mencaci,
mencela, menuduh, memfitnah, memakan harta tetangganya, mengintimidasi dsb.
Sehingga pahala kebaikannya habis untuk menutupi keburukannya. Bahkan karena
kebaikannya tidak cukup untuk menutupi keburukannya tersebut, maka dosa-dosa
orang-orang yang dizaliminya tersebut dicampakkan pada dirinya. Hingga jadilah
ia tidak memiliki apa-apa, selain hanya dosa dan dosa, akibat tidak
memperhatikan aspek ini. Na’udzubillah min dzalik.
4. Aspek Dakwah
Aspek ini sesungguhnya
sangat luas untuk dibicarakan. Karena menyangkut dakwah dalam segala aspek;
sosial, politik, ekonomi, dan juga substansi dari da’wah itu sendiri mengajak
orang pada kebersihan jiwa, akhlaqul karimah, memakmurkan masjid, menyempurnakan
ibadah, mengklimakskan kepasrahan abadi pada ilahi, banyak istighfar dan taubat
dsb.
Tetapi yang cukup urgens
dan sangat substansial pada evaluasi aspek dakwah ini yang perlu dievaluasi
adalah, sudah sejauh mana pihak lain baik dalam skala fardi maupun jama’i,
merasakan manisnya dan manfaat dari dakwah yang telah sekian lama dilakukan?
Jangan sampai sebuah ‘jamaah’ dakwah kehilangan pekerjaannya yang sangat
substansial, yaitu dakwah itu sendiri.
Evaluasi pada bidang
dakwah ini jika dijabarkan, juga akan menjadi lebih luas. Seperti evaluasi
dakwah dalam bidang tarbiyah dan kaderisasi, evaluasi dakwah dalam bidang
dakwah ‘ammah, evaluasi dakwah dalam bidang siyasi, evaluasi dakwah dalam
bidang iqtishadi, dsb?
Pada intinya, dakwah harus dievaluasi, agar harakah dakwah tidak hanya menjadi simbol yang substansinya telah beralih pada sektor lain yang jauh dari nilai-nilai dakwah itu sendiri. Mudah – mudahan ayat ini menjadi bahan evaluasi bagi dakwah yang sama-sama kita lakukan: Katakanlah: “Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik”. [QS. Yusuf (12): 108]
Sumber : http://www.dakwatuna.com/
Pada intinya, dakwah harus dievaluasi, agar harakah dakwah tidak hanya menjadi simbol yang substansinya telah beralih pada sektor lain yang jauh dari nilai-nilai dakwah itu sendiri. Mudah – mudahan ayat ini menjadi bahan evaluasi bagi dakwah yang sama-sama kita lakukan: Katakanlah: “Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik”. [QS. Yusuf (12): 108]
Sumber : http://www.dakwatuna.com/
0 comments:
Post a Comment